Masa Prapaskah, diawali Rabu Abu, berlangsung selama 40 hari dan
berakhir pada hari Kamis Putih dalam Pekan Suci. Dalam Perayaan Kamis
Putih, Gereja mengenangkan Ekaristi, Malam Perjamuan Terakhir Tuhan
Yesus bersama para rasul-Nya. Di sinilah Gereja mengawali Trihari Paskah
Kristus: sengsara - wafat dan kebangkitan-Nya, yakni Jumat Agung, Sabtu
Paskah, dan memuncak pada perayaan Malam Paskah dan berakhir pada
Ibadat Sore pada hari Minggu Paskah. (Pedoman Tahun Liturgi dan
Penanggalan Liturgi, dalam Bina Liturgia 2F, no. 19, hal. 504.)
“Masa Prapaskah mempunyai dua ciri khas, yaitu; mengenangkan atau
mempersiapkan pembaptisan dan membina tobat” (KL 109). Dalam tradisi
Gereja Masa Prapaskah menjadi masa untuk “Retret Agung”. Tradisi Gereja
mencatat masa Prapaskah adalah saat yang penting bagi para katekumen
untuk mempersiapkan diri secara lahir dan batin. Persiapan ini mencapai
puncaknya ketika katekumen menerima Sakramen Baptis pada Malam Paskah
Vigili. Bagi umat beriman lainnya masa ini adalah juga masa tobat. Dalam
masa tobat ini, umat beriman melaksanakan “Retret Agung” merenungkan
misteri sengsara dan wafat Tuhan Yesus. Tobat ditandai dengan pantang
dan puasa. Karena itu sepanjang masa prapaskah, kegiatan pendalaman
iman, puasa, pantang, dan amal amat dianjurkan.
Paralel dengan masa ini, suasana tobat juga dibangun dalam ruang
ibadat. Seluruh dekorasi dan suasana diusahakan untuk membantu umat
semakin menghayati nilai-nilai Prapaskah. “Dalam Masa Prapaskah tidak
diperkenankan menghias altar dengan bunga; bunyi alat-alat musik
diperkenankan hanya untuk mengiringi nyanyian…” kecuali pada Minggu
Laetare (Minggu Prapaskah IV), hraya dan pesta yang terjadi pada masa
ini. [Hari Raya St. Yusuf 19 Maret 2015 dan Hari Raya Kabar Sukacita 25
Maret 2015] (Surat Edaran Perayaan Paskah dan Persiapannya -- PPP 17;
PUMR, 305)
Sejak awal Masa Prapaskah sampai Malam Paskah, “Alleluya” tidak dipakai
dalam semua ibadat; juga pada hari raya dan pesta yang ada dalam Masa
Prapaskah. (PPP 18)
by Andi B17
No comments:
Post a Comment