Salah seorang umat yang kurang
paham cara membuang benda-benda rohani yang rusak adalah Franseline
Sanny Ratna atau yang akrab disapa Sanny. Di rumahnya, Sanny pernah
mengumpulkan benda-benda rohani rusak seperti rosario putus, salib
patah, patung yang sebagian tubuhnya pecah, dan kertas doa tak terpakai.
Awalnya,
umat Paroki Regina Caeli, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara ini hanya
mengumpulkan benda-benda suci itu sedikit demi sedikit. Lama-lama kardus
yang dipakai untuk menampung terisi sampai penuh. Umat lingkungan
Albertus Magnus Wilayah dua ini kemudian mulai bingung ketika ingin
membuang barang-barang rohani rusak yang sudah diberkati itu. “Kadang
jika ada sebagian tubuh patung rusak misalnya tangan Bunda Maria lepas,
saya putuskan untuk tidak memakainya lagi. Sebab kalau dilem takut
terlepas, jadi saya simpan dalam kardus. Tapi saya juga tidak berani
membuang secara sembarangan,” tuturnya.
Namun,
kekhawatiran Sanny akhirnya terjawab. Pada Desember 2014, parokinya
membangun sebuah sakrarium atau sumur suci yang terletak di belakang
gereja. Sumur suci yang berukuran panjang dua meter dan lebar satu
setengah meter dengan kedalaman dua meter itu terbuat dari semen dengan
alas tanah. Fungsi sumur suci adalah untuk tempat membakar benda-benda
rohani rusak yang sudah tak dipakai lagi.
Sumur Suci
Berangkat
dari pertanyaan umat tentang cara membuang benda-benda rohani rusak,
Seksi Liturgi Paroki Regina Caeli meminta persetujuan Pastor Paroki
untuk membuat sakrarium atau sumur suci. Setelah disetujui, Ketua Seksi
Liturgi Paroki Regina Caeli periode 2014- 2016 Christophora Judyana
Maretty atau yang akrab disapa Judy menghubungi bagian rumah tangga dan
kompleks gereja untuk membantu mempersiapkan pembuatan sumur suci itu.
Menurut
Judy, yang sejak 2011 aktif di Komisi Liturgi Keuskupan Agung Jakarta
(KAJ), setiap gereja idealnya memiliki sakrarium atau sumur suci. Namun,
dewasa ini, keberadaan tempat-tempat seperti itu kurang diperhatikan.
“Benda rohani dikhususkan untuk Tuhan. Karenanya, perlu diperlakukan
secara hormat bila rusak. Artinya, tidak dibuang sembarangan begitu saja
ke tempat sampah,” ujarnya.
Setelah membuat
sakrarium atau sumur suci, Judy segera menginformasikan kepada umat
Paroki Regina Caeli untuk mengumpulkan benda-benda rohani rusak di
tempat yang telah disediakan. Informasi adanya sumur suci di Paroki
Regina Caeli pun tersebar dari mulut ke mulut.
Banyak
umat dari berbagai paroki di KAJ pun juga tertarik datang membawa benda
rohaninya yang rusak dan meminta untuk dibakar di sumur suci yang
mereka miliki. Tak sedikit juga, umat yang menghubungi sekretariat
Paroki Regina Caeli menanyakan ikhwal keberadaan sumur suci itu.
“Sejak
Januari 2015 sampai sekarang banyak yang telepon ke sekretariat meminta
informasi tentang sakrarium atau sumur suci. Prinsipnya, saya jelaskan
betul tentang sakrarium, tapi belum ada perintah soal umat dari mana
saja yang bisa memakainya. Tentunya, untuk sementara diperuntukkan bagi
internal umat Regina Caeli. Tetapi jika ada yang datang dari luar dan
sudah membawa benda rohani yang rusak, tidak mungkin kami tolak,” kata
petugas sekretariat Paroki Regina Caeli, Frans Boly.
Cara Dibakar
Biasanya
umat yang membawa benda rohani rusak kemudian menyerahkannya kepada
koster paroki itu, Benediktus atau akrab disapa Benny. Semua benda itu
dikumpulkan terlebih dahulu. Jika sudah banyak, atau kurang lebih dalam
jangka waktu dua minggu, Benny membawanya ke sumur suci.
Setelah
empat bulan dibuka, ada beberapa umat yang menitipkan benda rohaninya
yang rusak seperti rosario putus, salib, patung Bunda Maria atau Yesus
yang pecah, dan kertas doa untuk dibakar di sumur suci. “Paling banyak
Rosario yang mereka bawa. Kertas misa minggu juga ada. Kertas doa Novena
Tiga Salam Maria banyak sekali. Jika tidak dibakar, benda-benda suci
yang rusak itu akan menumpuk. Saat membakar, tidak ada doa-doa khusus.
Yang jelas kita perlakukan barang-barang itu secara layak dan hormat,”
kata Benny yang sudah menjadi koster sejak 2007 ini.
Bagaimana
proses pembakaran benda suci itu? Biasanya Benny menumpuk benda-benda
rusak itu ke dalam sumur suci. Ia lantas menyiram benda suci itu dengan
minyak tanah dan kemudian membakarnya. Prosesnya ditunggu beberapa
menit, hingga benda rohani itu hancur. Abunya dibiarkan menumpuk di
dalam sumur suci.
“Sebelum ada sumur, kertas
doa dibuang sembarang saja di belakang halaman gereja. Kini, setelah ada
sumur, kita membuang benda rohani rusak yang tak terpakai itu ke dalam
sumur suci. Sebagai pengaman, di atas sumur diberi penutup dan dikunci
agar tidak sembarang orang bisa menggunakannya,” kata Benny.
Doa Jenazah
Di
tempat lain, di Paroki St Gemma Galgani, Katedral Ketapang, Kalimantan
Barat, ada kebiasaan lain dalam memperlakukan benda-benda suci yang
rusak atau tak terpakai lagi. Benda-benda rohani itu dibuang dengan cara
dikubur. Ketua Seksi Paramenta, yang mengurus alat-alat liturgi gereja,
Sr M. Lidwina PIJ menuturkan, selama ini pihak gereja membuang benda
rohani rusak dengan cara menguburnya di tempat yang layak.
Artinya,
membuang benda rohani rusak tidak ke tempat sampah, melainkan di tempat
yang layak. “Di Katedral ada tempat di belakang gereja yang aman,
biasanya untuk mengubur benda-benda rohani rusak,” kata suster yang juga
mengurus bagian keuangan di Keuskupan Ketapang ini.
Lain
halnya di rumah komunitas tempat Sr Lidwina tinggal. Kalau ada benda
rohani yang rusak, Sr Lidwina selalu menyimpannya di meja doa dalam
kamar. Sr Lidwina akan berdoa jika misalnya ada patung Bunda Maria yang
tangannya patah. “Jika saya berdoa dengan melihat patung Bunda Maria
yang patah itu, semangat panggilan saya semakin bertambah,” cerita Sr
Lidwina.
Membuang benda rohani rusak dengan
cara dikubur juga dilakukan di Keuskupan Ruteng, Flores, Nusa Tenggara
Timur. Malah, sebelum dilakukan penguburan atribut suci di gereja yang
sudah tidak terpakai lagi atau rusak itu diadakan doa pemberkatan
jenazah. Mereka percaya bahwa benda rohani itu sesuatu yang sakral,
sehingga dapat diperlakukan seperti manusia saat hendak dikuburkan.
Ketua
Komisi Kerohanian Keuskupan Ruteng Romo Ompi L. Latu menuturkan, barang
rohani yang sudah tak terpakai biasanya tidak dibuang tetapi dikubur.
“Biasanya benda rohani dikubur di dekat gereja. Jika penguburan
dilakukan oleh kaum awam, tidak dilakukan acara doa. Tetapi jika seorang
imam yang menguburkan benda suci itu, maka harus dilakukan doa khusus,”
kata Romo Ompi.
Di Pematangsiantar, Sumatra
Utara, benda rohani tak terpakai misalnya kasula juga harus disimpan dan
kemudian dibakar atau dikubur di dalam tanah. “Soal ritus, tidak ada
ritus khusus. Namun karena keyakinan iman kita dalam menghormati benda
suci, maka kita perlu menaruh hormat dan memperlakukannya dengan baik,”
kata Romo Alfonsus Very Ara, dosen Teologi dan Staf Pembina Seminari
Tinggi St Petrus Pematangsiantar.
Aprianita Ganadi
Laporan: G.A.S Andri Cahyono (Ketapang),
Adrianus Aba (Ruteng),
Fr Nicolaus Heru (Pematangsiantar)sumber : hidupkatolik.com
No comments:
Post a Comment